Perjalanan Seni Rupa Modern

Awal perjalanan seni rupa modern (Eropa-Amerika), diawali oleh gerakan yang disebut dengan gerakan seni lukis realisme dinamis atau post impresionisme. Gerakan ini merupakan masa transisi dari konvensi realisme ke bentuk  kebebasan seniman. Realisme Dinamis atau Post Impresionisme yang lahir pada abad XVII, membawa reaksi tajam. Reaksi tersebut datang dari seorang tokoh impresionisme fanatik: Paul Cezanne (1839-1906). Baginya melukis adalah berpikir menggunakan warna. Tugas pelukis adalah memproduksi hal yang berdimensi tiga ke dalam suatu bidang datar (kanvas). Ruang dan isi tidak bisa dipisahkan, Cezanne tidak ingin sekedar untuk meniru alam (memesis), melainkan alam ini ingin diciptakan kembali untuk memperoleh bentuk-bentuk yang kuat (Myers; 1959: 210).

Paul Cezanne mematahkan kedangkalan imaji retina kaum impresionis, membawa kembali pada garis, khususnya gerak kerangka kerja linier tiga dimensi, memberi tekanan gerak garis dan semua ketegangan kinetik daripada garis, bidang dan massa (Stephen C. Pepper, tth: 245).

Ekspresionisme berangkat dari realisme dinamis, sebagai suatu pelepasan diri dari ketidak puasan paham realisme formal. Dikatakan Paul Cezanne, bahwa yang paling sukar di dunia ini adalah mengutarakan ekspresi langsung atau konsepsi yang imajiner. Apabila tidak dicocokkan dengan model yang obyektif, maka buah pikiran yang menjelajahi kanvas tidak menentu. Untuk mencapai harmoni yang merupakan bagian seni yang essensial, seorang seniman harus berpegang pada sensasinya bukan pada visinya. Di sisi lain ekspresionisme di Perancis, Matisse (1869-1954) seorang pelopornya menyatakan bahwa fauvisme lahir dari reaksi terhadap metodisme yang lamban dan tidak tepat pada neo-impresionisme Seurat dan Signac. Andilnya dalam perkembangan seni modern adalah merupakan salah satu pembebas aturan seni saat itu. Ciri-ciri ada pada “ketepatan bukan selalu merupakan kebenaran” (Soedarso 1990:62-75).

Februari 1916, pada saat berkecamuknya Perang Dunia I, seorang penyiar Romania; Tristan Tzara dan Marcel Janco, serta dua penulis Jerman Hugo Ball dan Richard Huelsenbeck serta senirupawan dari Perancis Hans Arp (1887-1966), berkumpul di Cabaret Voltaire di Zurich. Kelompok ini mendirikan sebuah kelompok yang ia beri nama “Dada” yang berarti bahasa anak-anak untuk menyebutkan kuda mainan.

Melihat cara mereka mengambil sebuah nama untuk kelompok mereka, menunjukkan sikap nihilitas, menolak semua hukum seni dan keindahan yang sudah ada, sebagai protes terhadap nilai-nilai sosial yang semakin Collapse. Mereka meneriakkan To hell with Cezanne dan Assassiner la peinture. Perkumpulan orang dada muncul akibat persamaan nasib melihat pranata sosial yang kian tidak menentu semenjak perang dunia I (Rita Widagdo 1982:27). Selain itu, karya-karya mereka cukup sinis. Ada sebuah reproduksi lukisan Monalisa yang dibubuhi kumis, ada lagi yang berjudul “Kepala yang mekanistis” Raoul Maussmann (1919-1920), sebuah gambaran kepala manusia dari kaca dirangkai dengan menempelkan macam-macam barang lain. Duchamp memberi kejutan dengan beberapa Ready-Mades ada roda sepeda, ada pengering botol, bahkan ada tempat kencing yang diangkatnya dari tempat sampah dan dipamerkan. Dada menolak setiap mode moral, sosial maupun estetis. Dada menolak estetika, karena estetika dihasilkan oleh pikir, sedang dunia ini telah terbukti tanpa pikir;  catatan; melaui majalah, brosur, katalog pameran dan buku-buku tentang “Dada”, mempengaruhi seniman muda dan muncul  gebrakan seni rupa baru Indonesia sekitar yang terkenal dengan Desember hitam th 1975-an.

Seni Rupa Modern Amerika selama tahun 30-an bersifat eksperimen yang mengarah ke Abstrak Geometris, seperti Piet Mondrian seniman yang banyak pengikutnya sehingga menjadi simbul dan tokoh bagi seniman abstrak Amerika. Kemudian munculah Abstrak Ekspresionisme yang menentang adanya abstrak geometris. Latar belakang perkembangan seni rupa modern Amerika yaitu didasari oleh tendesi para pelukis dalam menggunakan kuas dan berbagai cara yang berhubungan dengan isyarat atau gerak kwas dan tekstur. Di pihak lain bahwa para pelukis tergantung pada tanda yang abstrak, imajinasi bentuk dengan kesatuan bidang warna yang luas. Seni abstrak bersifat individualistis dan sangat pribadi.Gerakan neoplastis, dinyatakan oleh Piet Mondrain bahwa: semua lukisan itu terdiri dari garis dan warna yang merupakan esensi gerakan neoplastis. Oleh karena itu garis dan warna harus dibebaskan dari beban peniruan alam, dan membiarkan keberadaannya sebagai garis dan warna itu sendiri. Beberapa fenomena, manifesto dan gerakan seni rupa sebelumnya yang paling berpengaruh pada gerakan ini antara lain: Dada, Abstrak-Ekspresionisme, Pop Art, minimalisme. Seni Minimalis sebagai estetika baru secara berarti, diawali ketika Frank Stella dengan tegas menyatakan bahwa ada dua persoalan yang harus diutarakan sebelum asumsi-asumsi Abstrak-ekspresionisme diperdebatkan, yaitu pertama mengenai ruang spasial dan kedua metodologi (Gablik, 1981:245-247).

Seni konseptual merupakan gerakan seni rupa yang lahir hampir bersamaan waktunya dengan seni minimalis dan Super Realisme, yakni pada pertengahan tahun 1960. Dalam beberapa khusus ketidak menentuan politik dan pertumbuhan kesadaran sosial di Eropa dan Amereka pada tahun 60-an mendorong hasrat seniman untuk menjauhi tradisi elit dari seni. Beberapa seniman tidak tertarik dan menolak ikontradisional, yakni : gaya, nilai-nilai dan aura. Disamping itu sistem pasar yang tidak masuk akal, keterbatasan ruang galleri dan dominasi para kuator seni yang makin mempersempit ruang gerak seni dan seniman, semakin mempertajam reaksi para seniman untuk menciptakan seni baru.  Seni yang menawarkan suatu konsep alternatif. Pembaharuan ini bermula dari Inggris sekitar tahun 1952, yang melibatkan seniman-seniman negara Eropa lain, kemudian secara luas diperhatikan oleh para seniman di Amerika pada tahun 1960-an (Rita, 1993:18).

Lahirnya aliran Super-Realisme didasari oleh keinginan untuk kembali pada bentuk, yang pada aliran sebelumnya. Keberadaan kamera ini dimanfaatkan sejumlah seniman sebagai pendukung dalam proses berkarya. Foto hasil kerja kamera digunakan sebagai patokan dalam menghasilkan karya seni. Kesempurnaan reprentasi alam yang dihasilkan kamera tersebut direproduksi kembali ke dalam karya seni dua dimensi. Pengetahuan fotografi dimanfaatkan pula oleh seniman untuk merepresentasi realita dengan hasil akhir mirip dengan hasil karya yang diproduksi malalui teknik fotografi terutama dari segi pencahayaan, kesempurnaan bentuk dan warna. Karya-karya Super-realisme dua dimensi yang didasarkan pemanfaatan pada fotografi tersebut dinamakan juga karya seni Fotorealisme.

Seniman Super-realisme pada dasarnya berusaha menghasilkan representasi realita yang memiliki kualitas, baik dari segi bentuk, warna, maupun efek cahaya dan sebagainya, yang lebih baik dari kualitas realita sesungguhnya. Ini memberikan konotasi bahwa Super-Realisme menentang kemapanan estetika modern yang medewaka ekspesi yang memanfaatkan kebetulan, maka super-realisme menolaknya (Edward Lucie Smith 1979).

Tinggalkan komentar